Beranda | Artikel
Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 13): Bertakwa Kepada Allah dan Ikhlas
1 hari lalu

Urusan dakwah adalah urusan yang besar sekali. Ini adalah perkara yang diemban amanahnya oleh orang-orang terbaik di setiap kurun, yakni para Nabi dan Rasul, kemudian para pewarisnya, yaitu para ulama yang mulia. Namun, bukan berarti kaum muslimin secara umum tidak mendapatkan jatah pahala yang besar ini. Akan tetapi, jelas porsinya akan sangat berbeda dengan porsinya para ahli ilmu.

Oleh karena itu, pondasi berdakwah wajib di atas ilmu yang kokoh dan bersih dari noda kebatilan. Dan pondasi yang paling inti adalah pondasi ketakwaan kepada Allah ﷻ. Tidak ada landasan amal yang paling hakiki melainkan alasan untuk meraih takwa dan memurnikan persembahan amal hanya untuk Allah ﷻ.

Takwa dan ikhlas adalah kunci diterimanya amal

Pekerjaan besar dakwah yang kompleks dan banyak pengorbanannya akan menjadi sia-sia, jika seseorang tidak menjalaninya dengan ketakwaan. Bukankah Allah ﷻ hanya menerima sesuatu yang baik dan murni ditujukan untuk-Nya saja?! Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab Madarij As-Salikin [1] berkata,

لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِهِ عَلَى مُتَابَعَةِ أَمْرِهِ

“Allah tidak menerima amalan kecuali jika amalan tersebut ikhlas karena mencari wajah-Nya dan amalan tersebut sesuai dengan sunah Nabi ﷺ.”

Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا

“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah ﷻ, tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud no. 3664)

Jika ketidakikhlasan dalam proses belajarnya saja membuat amalan menuntut ilmu sia-sia, maka apalagi jika seorang berdakwah?! Maka, urgensi ketakwaan dan keikhlasan dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan sudah sangat jelas.

Ketahuilah, para alim terdahulu menilai amal yang ikhlas ibarat mutiara yang sangat langka dan begitu sulit digapai. Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata,

لِأَنْ أَسْتَيْقِنَ أَنَّ اللَّهَ قَدْ تَقَبَّلَ مِنِّي صَلَاةً وَاحِدَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: ﴿إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Seandainya aku mengetahui dengan yakin bahwa Allah menerima satu salatku, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)”

Hikmah takwa dan ikhlas dalam dakwah dan perselisihan

Menghasilkan pribadi yang kokoh dan merdeka

Hikmah dari bertakwa dan ikhlas dalam berdakwah adalah seorang muttaqin dan mukhlis, orientasinya hanya Allah ﷻ, bukan penilaian manusia atau perkara duniawi lainnya. Sehingga orang yang demikian murninya tujuan dakwahnya, tidak akan silau dengan godaan dunia. Hal itu akan menghasilkan pribadi yang kokoh dalam medan dakwah serta merdeka dalam menyampaikan kebenaran. Kami mengingat sebuah nasihat yang beberapa kali diulang oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah, bahwa keistimewaan seorang penuntut ilmu adalah kemerdekaannya. Seorang penuntut ilmu yang tidak terbelenggu dengan kejumudan yang tiada dasarnya. Dan kemerdekaan ini digapai dari seorang ikhlas tujuannya hanya kepada Allah ﷻ.

Seorang yang bertakwa dan ikhlas dalam dakwahnya juga tidak akan sungkan menyampaikan kebenaran, karena tidak ada wajah manusia yang hendak diharapkan. Tentu hal ini tidak menafikan strategi dalam dakwah, sebagaimana yang sudah kita kaji dari artikel sebelumnya, tetapi hal ini akan membuat kemerdekaan seorang dai semakin hakiki.

Cepat rujuk dari kesalahan

Seorang yang bertakwa dan ikhlas juga akan cepat rujuk dari kesalahan, tidak pula membesarkan perselisihan, karena orientasi dakwahnya adalah agar kalimat tauhid menjadi tinggi. Ingatlah bahwa metode dakwah apapun bertujuan kepada menyeru kepada kalimat tauhid yang menjadi pondasi seluruh umat Islam, bahkan asalnya ahli kitab,

قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran: 64)

Semua asas yang telah kita pelajari mesti berawal dari pondasi paling utama: bertakwa kepada Allah ﷻ dan ikhlas dalam beramal.

Mendapatkan hidayah

Ketahuilah! Banyak perselisihan terjadi karena adanya konflik kepentingan yang berkaitan dengan makhluk. Maka, seorang yang ikhlas dalam dakwahnya, akan terbebas dari kepentingan keuntungan dari manusia. Ketahuilah! Kita sangat butuh hidayah dalam kehidupan, apalagi dalam berdakwah! Kita sangat butuh obat dalam kegundahan, apalagi dalam perselisihan! Hidayah dan obat itu sejatinya telah Allah ﷻ turunkan, tetapi ia hanya berfungsi bagi orang yang beriman. Adapun bagi orang-orang yang menyelisihi keimanan, justru akan mendapatkan kerugian darinya. Allah ﷻ berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra: 82)

Marilah kita terus mengevaluasi niat dan langkah amalan kita. Sudah benarkah niat kita beramal? Sudah benarkah bentuk amalan kita? Jangan sampai Al-Quran dan Sunnah yang kita dakwahkan justru menjadi bumerang yang mematikan kita. Maka, tiada bekal yang lebih berharga dalam berdakwah di dunia, bahkan pula ketika kita meniti jalan akhirat, melainkan bekal ketakwaan. Allah ﷻ berfirman,

وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Tidak sombong dan jumawa dengan pencapaiannya

Dengan seorang bertakwa, ia tidak menjadi jumawa dengan keberhasilan dakwahnya. Sebagaimana para salaf dengan ketakwaannya selalu melihat amalannya kecil di sisi Allah ﷻ dan belum tentu diterima. Sehingga mereka terus bekerja keras dalam amalnya, memperbaiki, dan memperindahnya terus-menerus. Para salaf sangat khawatir amalannya tidak diterima, merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al-Mu’minun: 60)

Sehingga mereka terbiasa beramal dengan maksimal dan tidak berbangga dengan amalannya. Sebagian salaf meriwayatkan bahwa mereka terbiasa berdoa mengharapkan Ramadan sejak enam bulan sebelumnya. Kemudian mereka memaksimalkan bulan Ramadan, lalu selanjutnya mereka berdoa sebanyak kurang lebih enam bulan agar amalan mereka diterima.

Satu-satunya motivasi dalam dakwah

Ingatlah, bahwasanya satu-satunya motivasi yang diterima dalam berdakwah dan berselisih adalah untuk menegakkan kalimat Allah ﷻ dan mencari kebenaran. Semua pergerakan yang tidak didasari oleh hal ini akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. Cukuplah riwayat berikut membuktikan akan hal ini. Dalam sebuah hadis sahih dikisahkan,

وسئل رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عن الرجل يقاتل رياءً، ويقاتل شجاعةً، ويقاتل حميَّةً، فأيُّ ذلك في سبيل الله؟ فقال:من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله

“Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seorang lelaki tentang berperang karena riya, berperang karena keberanian, dan berperang karena nilai ksatria; motivasi perang apa yang menunjukkan ia di jalan Allah ﷻ? Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Barangsiapa yang berperang karena hendak meninggikan kalimat Allah ﷻ, maka ia berada di jalan Allah ﷻ.” (HR. Bukhari no. 7458) [2]

Dan ingatlah tentang ancaman bagi orang yang tidak ikhlas dalam niat dakwahnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda,

وأخبر عن أوَّل ثلاثةٍ تسعَّر بهم النار: قارئ القرآن، والمجاهد، والمتصدِّق بماله، الذين فعلوا ذلك ليقال: فلانٌ قارئ، وشجاع، ومتصدِّق؛ لم تكن أعمالهم لله

“Beliau ﷺ mengabarkan tentang tiga orang yang pertama kali mencicipi api neraka: (1) qari Al-Quran, (2) mujahid, dan (3) ahli sedekah; yang mana mereka berbuat dengan motivasi untuk disebut-sebut “fulan itu seorang qari”, “fulan itu seorang pemberani”, “fulan itu seorang dermawan”, mereka beramal bukan ikhlas karena Allah ﷻ.” (HR. Muslim no. 1905) [3]

Mutiara hikmah

Alhamdulillah, Allah ﷻ telah memberikan kita kesempatan untuk mempelajari asas dalam dakwah dan menghadapi perselisihan. Telah terkumpul tiga puluh asas yang kami nilai diperlukan dalam tema ini yang tersebar dalam serial artikel ini. Tentu ini adalah hasil penelaahan para ulama yang kami pilih berdasarkan kesanggupan kami menuliskan dan membahasnya. Kesemua asas ini saling berkaitan satu sama lain, serta memiliki peran dan prioritasnya masing-masing. Maka, asas ini tidak disusun berdasarkan prioritasnya atau fungsinya, akan tetapi kami kumpulkan setidaknya berurutan dari apa yang telah kami bahaskan dalam setiap artikel.

  1. Mengutamakan dialog
  2. Menguatkan argumentasi
  3. Mengalah dan tidak saling bersikeras
  4. Melapangkan dada dengan pondasi iman dan amal saleh
  5. Mengetahui hakikat manusia yang bodoh dan zalim
  6. Memaafkan manusia
  7. Jangan ikutan bodoh
  8. Menyadari kelebihan orang lain dalam hubungan manusia
  9. Sikap adil adalah dengan memperinci suatu perkara
  10. Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah tatkala berselisih
  11. Tidak menjadikan mazhab dan komunitas sebagai standar kebenaran
  12. Kita sangat butuh hidayah ketika berselisih
  13. Berilmu dan berkapasitas mufti
  14. Kapabilitas dalam bahasa Arab
  15. Tawaduk (Tidak mengesankan diri hebat melebihi realita kapasitas)
  16. Moderat
  17. Tidak melampaui batas
  18. Jujur
  19. Menjauh sejenak dari titik perselisihan
  20. Meredam perselisihan dengan mengingat kekerabatan
  21. Tujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaran
  22. Menyebutkan keutamaan diri sendiri
  23. Melepaskan diri dari tuduhan
  24. Mengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstual
  25. Tidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaib
  26. At-Tatsabbut
  27. At-Tabayyun
  28. Siap mengakui kesalahan
  29. Ikhlas
  30. Bertakwa kepada Allah ﷻ

Tidaklah semua asas ini dapat dijadikan pegangan untuk melahirkan metode dakwah yang baik, melainkan dengan bertakwa kepada Allah ﷻ dan memohon pertolongan kepadanya. Semoga Allah ﷻ gunakan kita sebagai corong-corong kebaikan yang mengantarkan ke surga, serta memaafkan kesalahan-kesalahan kita.

[Selesai]

Kembali ke bagian 12 Mulai dari bagian 1

***

Penulis: Glenshah Fauzi 

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi serial artikel ini:

  • Adab Al-Ikhtilaf baina Ash-Shahabah wa Atsaruhu ‘ala Waqi’ Al-Islami Al-Muashir, karya Syekh Sa’ad bin As-Sayyid Quthb Asy-Syal hafizhahullahu Ta’ala, cet. Dar Ibadirrahman.
  • (Terjemahan) Adab Ikhtilaf Para Sahabat, cet. Pustaka Al-Kautsar.
  • dorar.net
  • islamweb.net
  • Madarij As-Salikin, cet. Dar Alamiyah.
  • Mausuah Akhlak wa As-Suluk, terbitan dorar.net pimpinan Syekh Ali bin Abdul Qadir As-Saqqaf.

Catatan kaki:

[1] Dinukil dalam Madarijus Salikin, hal. 79; cet. Dar Alamiyah.

[2] Dinukil dalam Madarijus Salikin, hal. 467; cet. Dar Alamiyah.

[3] Dinukil dalam Madarijus Salikin, hal. 467; cet. Dar Alamiyah.


Artikel asli: https://muslim.or.id/110882-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-13.html